Rabu, 13 Agustus 2014

Tulisanku pada cerita

Selamat malam dunia. Selamat menikmati lagi dan lagi persembahan tarian materi langit malam hari ini. Semoga ketenangan malam ini bisa membawa pergi lelah jauh-jauh, biar mereka punya waktu yang lama untuk kembali. Sebelumnya, aku tak pernah membayangkan bahwa hal yang selama ini aku inginkan justru menjadi momok bagiku. Satu hal yang kini benar-benar ada di depan mataku, berdiri dengan dua kaki yang kokoh. Simpang siur khawatirku menghantui, berlalu lalang bebas hambatan setiap harinya. Sudah cukup lama aku menginginkan ini, namun ternyata aku tak sekuat dugaan ku untuk melihat inginku datang secepat ini bahkan, kini aku menginginkan sebaliknya, keinginan yang justru menjadi kenyataan buruk tidak pernah lagi datang di kehidupanku.

Bintang terlihat berkelip lebih cepat dari biasanya, menunjukkan pesona dan kharisma nya. Bulan pun demikian, memuji kecantikan sang bintang yang katanya melebihi indahnya mentari saat mengantuk di ufuk barat. Bukan, tidak demikian denganku, entah apa yang merasuki ku hingga aku merasa tak mampu bertahan tanpanya, wanita macam apa yang memikirkan "dia" yang belum tentu memikirkannya. Berlutut memohon padaNya sudah ku lakukan, agar waktu dapat lagi ku ulang. Biarlah ku nikmati karma dengan hasrat bahagia, agar aku dapat meyankinkan diriku bahwa aku adalah manusia yang bersyukur. Betapa berarti ciptaanNya yang kini menjadi bagian dalam buku harianku. Buku itu, setiap hari aku menulis namanya disana, mungkin bintang sudah bosan membacanya dalam buku harianku, namun aku tak pernah, namanya selalu teduh dalam ingatanku.

Mengingat cerita yang dulu amat kusenangi saat ia terus-menerus mengulang menceritakan "cerita bahagia" kami. Mungkin semuanya telah terasa berbeda, seperti langit yang berbatu, terus menerus menggempur berisik mengubah suasana damai langit. Menempa kesulitan yang membuat aku terus tertatih tak henti membuat aku begitu lelah. Masa yang kini datang mengubah sosok periang dan penyayang menjadi seorang yang dingin, tak peduli dan berego keras. Menyesalnya aku telah mengubah satu hal menjadi lebih buruk, aku tidak pandai menerka impianku sendiri. Mengubahnya dari yang terlalu berlebihan sayang menjadi seseorang yang penyayang saja tanpa ada lebihnya adalah keinginanku yang kini datang. Mengingat hal yang berlebihan itu adalah tidak lebih baik. Menimbang kenyataan yang saat ini kuterima, ternyata semuanya bertolak belakang. Manisnya disanjung tak pernah lagi ada. Menghilang secepat kilat, harapku hanya menjadi serpihan debu.

Harus ku akui, bukan lagi sosok sepertinya yang aku inginkan. Habis harapanku padanya, aku hanya bisa berdiam dan berdoa semoga ada jalan lain yang masih jauh tapi akan segera datang, aku sangaaat menunggunya. Hingar bingar canda berisiknya kini tak pernah ku dengar lagi, aku sendiri dibawah damar meneduhkan hatiku yang lelah. Hela nafas akhir asa terus menerus ku hembuskan, seakan damar pun tahu ceritaku, ia ikut diam dalam hangatnya mentari. Hilangnya sosok masa lalu memaksa mawarku gugur, satu demi satu mahkotanya jatuh. Hanya bisa ku ratapi dan menunggu gugurnya mawarku bersama indah jalinan masa lalu. Hikmah tak sama sekali ku dapat, tidak sama seperti yang mereka katakan bahwa setiap duka akan ada hikmahnya. Hah, semuanya sudah berlalu dan hanya bisa ku sesali.

Selalu ku rindu meski tak sama sekali pesannya disampaikan angin. Setiap hari belakangan ini aku selalu mencari senyumnya, namun tak semudah mencari oksigen di tengah hutan rimba. Siapa yang menyembunyikan sosok itu? Selama ini aku membiarkannya membujukku, membatasi diriku dengannya,menjauh,berlari,dan pergi jauh darinya. Sakit bila harus menerima pribadi barunya.

Aku mendapat kenyataan pahit, tak lagi tahu dimana ia, aku terus mencari kehilangan dirinya. Apa yang selama ini ku lakukan ? aku merasa sangat bersalah. Aku hanya bisa bersandar pada nisannya. Apa yang ada di hadapku adalah terteranya nama indah pada nisan putih yang terlihat baru diganti. Nama indah yang begitu banyak memEnuhi buku harianku, nama yang selalu ku rindukan, nama yang... yang selama ini yang selama ini memenuhi sesak laraku.**